Sebagai orang Jawa tentu kita mengenal Kopi Luwak. Bukan kopi sachet bermerek Luwak, melainkan kopi yang konon tumbuh di pedalaman hutan Pulau Jawa dan Sumatera yang menjadi istimewa karena adanya hewan Luwak, hewan nokturnal yang gemar memakan dan mengunyah kulit biji kopi tersebut. Melalui serangkai proses biologis tersebut, tinggallah biji kopi kering yang terfermentasi secara alami dengan proses ‘alami’. Kopi yang sangat langka tersebut konon kabarnya pernah menjadi salah satu komoditas kopi yang terlezat dan termahal di seluruh dunia. Maka lalu tidak heran banyak sekali yang mengidentikkan kopi dengan Jawa.
Ketika kini kita melihat kedai-kedai kopi dari luar negeri, seperti Starbucks, J.Co Donuts and Coffee, Dome, The Coffee Bean – yang bahkan menjadi tagline sebuah acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta kita – di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya dan umumnya ada di Pulau Jawa tampak menjadi kisah tersendiri khususnya mungkin bagi siapa pun yang dulu pernah mengalami masa-masa romantisme perkebunan kopi hasil jajahan Belanda. Kedai-kedai kopi franchise tersebut sekarang menjadi bagian dari gaya hidup dan mode tersendiri bagi kaum yuppies dan kalangan menengah ke atas, disaat kita melihat di bagian lain pulau ini warung kopi dapat berkonotasi dengan warung ‘remang-remang’ maupun tempat berkumpulnya para sopir truk di pantura. Kedai-kedai kopi yang berlokasi di mall-mall dan pusat perbelanjaan tersebut menjadi tempat dan lokasi meluangkan waktu yang tersisa dari rutinitas padat sebagian orang dan berkembang menjadi bentuk sarana aktualisasi sosial tersendiri.
Starbucks adalah nama terkenal dalam bisnis ini. Kedai kopi yang memulai debutnya tahun 1971 di Seattle, Washington, Amerika Serikat ini telah melebarkan sayapnya ke berbagai penjuru dunia dengan gerai mencapai 5.688 buah (Kompas, 10 Nopember 2002). Di dalam kedai kopi tersebut terdapat caramel macchiato, iced caffe latte, cappuccino – pendeknya kopi – entah dihidangkan dingin (dengan es atau panas) beserta topping susu, whipped cream ataupun herba pelengkap seperti taburan bubuk kayu manis dan daun mint. Kita juga dapat menikmati alunan musik jazz yang konon mempunyai format yang sama di seluruh kedai Starbucks di dunia, bahkan secara eksklusif pemutar atau CD player yang tersedia tidak bisa memutar CD selain CD yang dikirim dari kantor pusat Starbucks di Seattle. Menurut Howard Schultz, Chairman dan CEO Starbucks dalam salah satu bagian tulisannya di buku “Pour Your Heart Into It” (2002) mengatakan strategi yang ia buat adalah ‘ia ingin mencampur kopi dengan romasa…’ (Kompas, 10 Nopember 2002).
Sebagaimana bisnis lain yang menggunakan stategi gaya hidup, kedai-kedai kopi dari luar negeri yang membuka cabangnya di Jakarta tersebut berusaha memperdagangkan ‘simbol’. Ada saatnya melalui berbagai saluran, produk dijadikan simbol, konsumen kemudian mengkonsumsinya akhirnya simbol menjadi produk yang dapat direproduksi seterusnya sehingga seperti menciptakan jaring simbolik bahkan dari Seattle sampai ke Jakarta. Maka di sini secangkir cappuccino mungkin menjadi perangkat simbol tertentu. Kopi tidak sebatas berfungsi menjadi penghilang kantuk, teman bergadang nonton bola, atau sajian dalam tahlilan, namun telah berubah menjadi sebagai kode simbolik yang digunakan sebagian kalangan peminumnya untuk mengkomunikasikan, mencitrakan, mengaktualisasikan keberadaan mereka dalam kelompok sosial. Komodifikasi kopi tampaknya berjalan beriringan dengan komodifikasi gaya hidup.
“Ahli” komodifikasi gaya hidup seperti yang kita kenal ini memang Amerika. Padahal kalau kita menelusuri sejarah komoditas kopi – tanpa embel-embel urusan trend dan gaya hidup – Amerika tentulah bukan pemegang tradisi panjang dari sejarah kopi. Sejarah mencatat komoditas kopi pada mulanya banyak diperdaganglan orang-orang Eropa khususnya Belanda dan Inggris dari perkebunan-perkebunan di Sumatera, Jawa, Afrika Timur, Brazil dan Kepulauan Karibia.
Perkembangan bisnis di jaman globalisasi ini cenderung seperti dilakukan oleh Starbucks. Selain menggarap produk, satu hal lain adalah menggarap konsumen. Banyak bisnis seperti Starbucks mencoba merumuskan dirinya dalam bisnis di jaman kontemporer yang penuh dengan berbagai jargon-jargon simbolik seperti nikmatnya kemewahan, menciptakan tempat dimana pelanggan dapat relaks, dan sebagainya. Dengan kata lain banyak gejala-gejala kontemporer yang berusaha mengkuantitatifkan dimensi ruang dan waktu agar dapat ‘diperdagangkan’ dan menghasilkan keuntungan untuk dinikmati sebagian pemodal.
Maka salah satu yang diungkapkan Gélinas sebagai 5 gelombang besar dalam penguasaan pasar global dari perusahaan transnasional adalah melalui produk-produk pertanian dan perkebunan serta komersialisasi berbagai pelayanan yang terkait bidang tersebut. Tidak mengherankan perusahaan transnasional seperti Philip Morris, Nestlé, Procter and Gamble, dan Sara Lee berbagi sekitar 70 persen pasar dari komoditas dan hasil olahan kopi (Gélinas, 2003: 37). Perusahaan transnasional tersebut mungkin tidak secara langsung berbisnis di bidang gaya hidup seperti Starbucks dan The Coffee Bean, namun pasar global yang secara terstruktur ikut berperan dalam konstruksi pencitraan simbolisme kopi sebagai salah satu entitas gaya hidup, tentu saja melalui iklan mereka di media massa.
McQuail secara tegas mengemukakan dalam glossary-nya bahwa media sangat berperan dalam mempercepat proses globalisasi (McQuail, 2000: 496). Sebagai konsekuensi atas bentuk media sebagai sebuah institusi, banyak kritik yang menunjukkan kecenderungan peran media massa dalam mengkonstruksi simbolisme produk globalisasi. Dari dimensi institusionalnya, media juga merupakan sebuah bagian dari korporasi para pemodal transnasional yang mau tidak mau harus bertahan dengan mencari untung. Gaya hidup yang cenderung ikut berkembang melalui media juga bukan merupakan pengecualian. Perubahan nilai-nilai gaya hidup dan kultural akibat globalisasi yang semakin tampak arahnya dikendalikan Barat sebagai pemilik modal membuat media cenderung sebagai institusi yang menjadi agen utama ketika timbul pertanyaan siapa yang bertanggung jawab.
Seperti inilah sihir dunia konsumsi dan gaya hidup. Ketika komoditas mulai dilekatkan dengan berbagai asosiasi makna dan ilusi tertentu yang dalam hal ini romansa, kemewahan, prestise, maka menjadi lazim ketika semakin populer dan digemari oleh konsumennya. Kecerdikan dari tangan globalisasi yang mungkin tidak disadari ini telah berubah menjadi semacam bagian dari budaya yang dikonstruksi sebagai bentuk pelaziman. Wacana yang berkembang di dunia gaya hidup tidak sebatas aktualisasi sosial namun lebih pada bentuk-bentuk penetrasi kultural yang dilakukan secara teselubung. Maka lantas dunia simbolisme kultural melalui gaya hidup menjadi salah satu tambang para kapitalis sebagai bagian dari reproduksi profit.
Nilai-nilai konsumerisme yang dapat dikatakan lekat (namun tidak selalu) dengan mode dan gaya hidup banyak dikatakan menuju pada kecenderungan imperialisme kultural (O’Shaughnessy dan Stadler, 2002: 263). Salah satu kecenderungan itu akan muncul ketika globalisasi melalui komunikasi yang dikendalikan oleh kepentingan ekonomi, politik, bahkan dikatakan militer dari berbagai perusahaan transnasional sehingga menghasilkan dominasi kultur tradisional atas intrusi kebudayaan Barat. Dominasi kultural apabila tidak kita sadari maka semakin lama semakin bersifat patologis bagi apa yang dianggap sebagai budaya lokal. Maka wacana konsumerisme dapat dikatakan merusak apabila ketika kita sebagai sebuah entitas kultural sudah merasa tidak menjadi bagian dari diri kita sendiri. Penyebaran secara global dari beragam brand dan franchise secara tidak langsung telah mengarahkan kita pada kolonisasi baru yang diistilahkan Klein (2000) sebagai ‘coca-colonisation’ (O’Shaughnessy dan Stadler, 2002: 263).
Maka jelas bagian tak terpisahkan dari globalisasi adalah uang, dalam dollar, poundsterling, yen, euro, atau bahkan koin emas. Menurut Manuel Castells, inti dari globalisasi adalah proses ekonomi. Dapat digambarkan sekarang sebuah sistem ekonomi sebagai kapitalisme informasional global (Kompas, 21 Februari 2004). Bentuk kapitalisme yang berinti modal memengang peran utama, informasional berarti mencakup dimensi sumber produksi yang bergantung pada pengetahuan, informasi, dan teknologi. Sifat globalnya menyangkut kapasitas untuk bekerja serentak dalam skala planet. Dan penghubung utamanya adalah media massa yang menurut pendapat McLuhan sebagai desa global akibat adanya keterhubungan media terutama televisi sebagai bentuk jantung kebudayaan dalam masyarakat.







0 komentar:
Post a Comment